Masalah kesehatan reproduksi di kalangan remaja seperti HIV/AIDS, seks pranikah, kehamilan tidak diinginkan (KTD), dan pernikahan dini merupakan isu yang sangat kompleks dan masih menjadi ancaman serius terhadap masa depan generasi muda Indonesia.
Permasalahan ini tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga berimplikasi pada aspek psikologis, sosial, dan ekonomi remaja yang terlibat.
Salah satu akar utama dari persoalan ini adalah kurangnya akses terhadap informasi dan edukasi kesehatan reproduksi yang komprehensif dan ramah remaja. Banyak remaja tidak mendapatkan pendidikan yang tepat mengenai anatomi tubuh, pubertas, relasi sehat, maupun risiko dari aktivitas seksual yang tidak aman.
Informasi yang tersedia pun sering kali tidak mudah dipahami atau disampaikan dalam cara yang sesuai dengan usia dan konteks kehidupan mereka.
Situasi ini menjadi lebih berat bagi kelompok remaja yang tergolong kelompok risiko tinggi, seperti anak penyandang disabilitas, anak jalanan, anak putus sekolah, serta anak yang terjebak dalam pernikahan dini.
Kelompok ini umumnya menghadapi hambatan ganda: mereka tidak hanya mengalami keterbatasan informasi, tetapi juga akses layanan kesehatan dan perlindungan sosial yang minim. Anak dengan disabilitas, misalnya, seringkali tidak menjadi prioritas dalam program pendidikan kesehatan reproduksi karena asumsi keliru bahwa mereka tidak aktif secara seksual.

• Perempuan dalam Posisi Sangat Rentan
Sementara itu, pernikahan anak, yang masih marak di sejumlah wilayah, menempatkan remaja—terutama perempuan—dalam posisi yang sangat rentan. Mereka dipaksa menjalani peran sebagai istri dan ibu sebelum secara fisik maupun mental siap, yang meningkatkan risiko komplikasi kehamilan, kematian ibu muda, dan bayi lahir dengan stunting.
Oleh karena itu, upaya pembinaan kesehatan reproduksi pada kelompok-kelompok ini sangat penting untuk mencegah siklus kerentanan yang terus berulang. Dengan akses informasi yang benar dan pendekatan yang inklusif, remaja dari kelompok risiko tinggi dapat dibekali pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk menjaga diri, membuat keputusan yang sehat, dan membangun masa depan yang lebih baik.
• Perlindungan Negara terhadap Hak Reproduksi : implementasi PP No. 61 Tahun 2014
Kegiatan pembinaan kesehatan reproduksi ini berlandaskan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yang menjadi kerangka hukum penting dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak kesehatan reproduksi bagi seluruh warga negara, tanpa terkecuali.
Dalam regulasi ini ditegaskan bahwa setiap individu, termasuk remaja dan kelompok rentan, memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hak atas kesehatan reproduksi mencakup lebih dari sekadar akses ke fasilitas medis; tapi juga meliputi hak untuk mendapatkan informasi yang benar, edukasi yang komprehensif, serta perlindungan terhadap praktik berisiko dan diskriminatif.
PP No. 61/2014 secara eksplisit menempatkan tanggung jawab tidak hanya di pundak pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah serta masyarakat luas. Sinergi ketiganya diperlukan agar layanan dan informasi kesehatan reproduksi benar-benar menjangkau semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang selama ini terpinggirkan.
Untuk menjangkau kelompok rentan seperti remaja penyandang disabilitas, anak jalanan, anak dalam pernikahan dini, dan anak putus sekolah, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif. Karena itu, regulasi ini mendorong implementasi edukasi melalui jalur formal dan nonformal. Artinya, selain diberikan di sekolah melalui kurikulum, informasi tentang kesehatan reproduksi juga perlu disampaikan melalui berbagai forum masyarakat seperti posyandu remaja, kelompok sebaya, layanan konseling, maupun kegiatan komunitas.
Dengan landasan hukum ini, kegiatan pembinaan seperti yang dilakukan di SLB N 1 Jembrana menjadi bagian dari upaya pemenuhan mandat negara, sekaligus bentuk tanggung jawab bersama dalam menciptakan lingkungan yang mendukung remaja—termasuk mereka yang berada dalam kelompok risiko tinggi—agar dapat menjalani kehidupan reproduksi yang sehat, aman, dan bertanggung jawab.

• Harapan: Meningkatkan Kesadaran, Menghindari Risiko
Kegiatan pembinaan kesehatan reproduksi membawa harapan besar, tidak hanya bagi peserta yang terlibat langsung, tetapi juga bagi masyarakat luas. Setelah terpapar informasi terkait Kesehatan Reproduksi diharapkan dapat mendorong kesadaran remaja yang mengenyam pendidikan di SLB N 1 Jembrana untuk lebih memahami pentingnya menjaga kesehatan reproduksi mereka secara menyeluruh—baik secara fisik, psikologis, maupun sosial.
Dengan pembekalan materi yang komprehensif dan pendekatan yang inklusif, para fasilitator diharapkan mampu mengajarkan remaja untuk mengenali tubuh mereka, memahami hak-hak reproduksi, serta menghindari perilaku seksual yang berisiko, seperti hubungan seksual pranikah, eksploitasi, atau kekerasan berbasis gender.
Pemahaman ini penting agar remaja tidak hanya dapat melindungi diri sendiri, tetapi juga dapat membuat keputusan yang tepat dan bertanggung jawab dalam kehidupan sosial dan relasi mereka.
Lebih dari itu, kegiatan ini diharapkan dapat mempersiapkan remaja inklusif menghadapi masa depan yang sehat dan produktif. Dengan kesehatan reproduksi yang terjaga, remaja memiliki peluang yang lebih besar untuk menyelesaikan pendidikan, mengejar karier, serta membangun keluarga yang berkualitas di masa depan.
Tak kalah penting, kegiatan ini juga menekankan pada peran aktif masyarakat dalam mendukung remaja, terutama mereka yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi. Orang tua, guru, tokoh masyarakat, dan lingkungan sekitar memiliki peran strategis dalam menyediakan informasi yang benar, memberi dukungan moral, serta menciptakan ruang aman bagi remaja untuk belajar dan bertumbuh.
Dengan keterlibatan semua pihak, akan tercipta ekosistem sosial yang mendukung lahirnya generasi muda yang sadar, terlindungi, dan berdaya dalam menjaga kesehatan reproduksinya.

• Kelompok Risiko Tinggi
Maka, adalah tepat bila Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN juga memberikan intervensi terhadap kelompok risiko tinggi. Kali ini adalah Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Jembrana, Bali, yang menjadi lokus pelaksanaan kegiatan Pembinaan Kesehatan Reproduksi bagi Kelompok Risiko Tinggi.
Berlangsung Selasa (29/7/2025), kegiatan ini terselenggara atas kolaborasi antara Kemendukbangga/BKKBN Perwakilan BKKBN Provinsi Bali, SLB N 1 Jembrana dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Jembrana.
Kegiatan ini menyasar remaja penyandang disabilitas yang tergolong dalam kelompok berisiko tinggi, guna memberikan edukasi penting mengenai kesehatan reproduksi yang aman, sehat, dan bertanggung jawab.
Fasilitasi teknis dilakukan oleh Penyuluh KB/PLKB. Hadir sebagai narasumber Tim Kerja KB-KR serta perwakilan Forum Genre Provinsi Bali sebagai Fasilitator.
“Remaja penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan informasi, edukasi, dan perlindungan kesehatan reproduksi. Melalui pembinaan ini, kami berharap mereka tidak hanya memahami tubuh dan hak-hak mereka, tetapi juga mampu membuat keputusan yang sehat dan bertanggung jawab untuk masa depan,” demikian Ni Luh Nyoman Sumiati, Ketua Tim Kerja Keluarga Berencana/Kesehatan Reproduksi Kemendukbangga/BKKBN Perwakilan BKKBN Provinsi Bali.
Katanya lebih lanjut, “Upaya ini tidak bisa berhenti di sini — diperlukan dukungan berkelanjutan dari keluarga, sekolah, dan masyarakat agar semua remaja, termasuk yang berada di kelompok risiko tinggi, dapat tumbuh menjadi generasi yang sehat, berdaya, dan terlindungi.
