Tanda-tanda kekerasan pada anak dipaparkan pada acara Ruang Belajar Seri 3 “Tata Laksana Penanganan Kekerasan pada Anak” yang diselenggarakan Kemendukbangga/BKKBN dan diikuti para orang tua, pengelola dan pengasuh Tempat Penitipan Anak (TPA), tenaga lini lapangan di lingkungan Kemendukbangga/BKKBN, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten kota, mitra penggiat pengasuhan anak, dan kementerian lembaga lainnya.
“Banyak tanda kekerasan yang sering kita lewatkan, misalnya anak-anak yang datang ke TPA dengan memar, tetapi disebut “jatuh sendiri”, anak yang tiba-tiba menjadi sangat pendiam atau takut disentuh, anak yang memperlihatkan ketakutan terhadap suara keras atau orang tertentu, atau anak yang menunjukkan regresi perkembangan, misalnya dari bisa bicara menjadi gagap, dari ceria menjadi menarik diri,” ungkap Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Wakil Kepala BKKBN, Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka, S.Sos, dalam sambutannya yang dibacakan Penata KKB Ahli Madya pada Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Balita dan Anak, Kemendukbangga/BKKBN, Hemiliana Dwi Putri, S.Psi.Psi pada acara tersebut yang dilaksanakan secara luring dan daring, Selasa (02/12/2025).
Berdasarkan data Simfoni PPA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kekerasan terhadap anak periode Desember 2024 tercatat sebanyak 4.603 kasus dengan jumlah korban 4.988 anak. Sebanyak 70,23% kekerasan terjadi pada anak perempuan dan 29,77% terjadi pada anak laki-laki. “Kekerasan terhadap anak adalah fenomena yang seringkali berada “di balik pintu”, tidak terlihat, tidak terlaporkan, namun dampaknya luar biasa dalam menghancurkan masa depan seorang anak,” demikian Wamen Isyana dalam sambutan tertulisnya.

Sementara itu, Tim Pakar RS Akademik UGM, dr. Budiatri Retno Noormaningrum, M.Sc., Sp.F.M, dalam kesempatan yang sama memaparkan bentuk-bentuk kekerasan pada anak. Ada kekerasan fisik, kekerasan emosional/psikologis, kekerasan seksual, penelantaran. “Eksploitasi kekerasan yang terjadi ini dapat diidentifikasi melalui dua hal, secara fisik dan perilaku,” ujar dr. Budiatri.
Dampak kekerasan pada Anak dapat didentifikasi menjadi dampak fisik, seperti cedera ataupun masalah kesehatan jangka panjang. Atau gangguan perkembangan kognitif dan mental seperti gangguan konsentrasi dan belajar, keterlambatan bicara, stress pasca trauma seperti kecemasan, dan depresi. Atau juga kesulitan membangun kepercayaan dan hubungan sosial, perilaku agresif atau menarik diri, risiko keterlibatan dalam perilaku berisiko di masa remaja. Ciri anak mengalami kekerasan dapat dilihat melalui tanda-tanda tertentu seperti, tanda fisik, tanda perilaku (emosional), tanda pada interaksi sosial dan akademik, tanda anak diabaikan, dan tanda pada orang tua.

Kepolisian saat ini memiliki Direktorat Tindak Pidana Perlindungan Perempuan & Anak dan Pemberantasan Perdagangan Orang (DITTIPID & PPO), di bawah Bareskrim Polri. “Tugas dan fungsinya melaksanakan penyelidikan dan penyidikan serta memberikan perlindungan terhadap korban,” ujar Kanit 2 Subdit II Dittipid PPA dan PPO Bareskrim Polri, Dwi Astuti, SH, MA.
Sementara narasumber lainnya dari Tim Pakar RS Akademik UGM, dr. Fita Wirastuti, M.Sc, Sp.A, mengatakan upaya pencegahan kekerasan pada anak dapat dilakukan melalui tiga metode, yaitu primary prevention, secondary prevention, tertiary prevention. Primary prevention dilakukan sebelum perlakuan salah dan penelantaran anak terjadi. Secondary prevention, individu yang memiliki risiko kesulitan menjadi orang tua yang baik. Tertiary prevention, kasus perlakuan salah/penelantaran anak sudah terjadi.



