Pemerintah dan sejumlah perguruan tinggi membentuk Konsorsium Perguruan Tinggi (KPT) untuk mengembangkan program yang berfokus pada pengentasan kemiskinan ekstrem dan penurunan risiko stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, tetapi angka kemiskinan dan stunting di NTT tetap tinggi. Ini menunjukkan perlunya strategi yang lebih efektif. Salah satu faktor yang dinilai menjadi penyebabnya adalah perilaku yang sudah mengakar dalam masyarakat.
Diketahui, NTT termasuk provinsi dengan prevalensi stunting dan kemiskinan ekstrem tertinggi secara nasional. Pada 2024, prevalensi stunting di NTT sebesar 37% (SSGI, 2024) dan angka kemiskinan 19,48% (BPS, 2024)
Kesadaran keluarga untuk mencegah stunting anak di provinsi tersebut terbilang rendah. Juga aspek kesehatan lingkungan. Termasuk sanitasi, ketersediaan gizi, serta pangan lokal juga masih rendah.
“Kita simulasikan, seandainya dilakukan optimalisasi aspek-aspek tersebut, namun perilaku atau kebiasaan lama masih ada, maka angka stunting sulit diturunkan,” ujar Dr. Dhanny Septimawan Sutopo, anggota KPT dari Universitas Brawijaya.
Hal tersebut ditegaskan dalam kegiatan Penyelarasan Program dan Kegiatan Konsorsium Perguruan Tinggi Provinsi Nusa Tenggara Timur bersama Kementerian/Lembaga dalam Upaya Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem dan Penurunan Risiko Stunting.

Berlangsung di Kantor Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN, Jakarta, Jum’at (10/10/2025), konsorsium ini melibatkan Kemendukbangga/BKKBN dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek).
Sementara, institusi pendidikan tinggi yang terlibat adalah Universitas Nusa Cendana, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Universitas Brawijaya (UB).
Deputi bidang Penggerakan dan Peran Serta Masyarakat, Kemendukbangga/BKKBN, Drs. Sukaryo Teguh Santoso, M.Pd, menyampaikan beberapa agenda penting di dalam KPT. Meliputi rekayasa sosial dan inovasi sosial, penguatan edukasi melalui berbagai media, kelompok pemberdayaan masyarakat untuk penyiapan fungsi keluarga, serta penyusunan materi untuk komunikasi perubahan perilaku di akar rumput.
“Terkait intervensi percepatan penurunan stunting yang bersifat sensitif, sesuai arahan pak Menteri, sudah kita siapkan pilot project di NTT, meliputi penyediaan akses air bersih, rumah layak huni dan juga fasilitas umum. Ini semua akan berkolaborasi dengan mitra kerja,” ungkap Teguh.
Sejalan dengan hal itu, Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan Kemdiktisaintek, Dr. Fauzan Adziman, S.T., M. Eng mengatakan program untuk mengatasi kemiskinan ekstrem dan stunting di NTT ditekankan pada inovasi sosial dan kelembagaan, kesehatan, lingkungan, serta pengembangan pangan lokal yang berkelanjutan.
Program ini juga mencakup penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan kapasitas lokal dalam memproduksi pangan bergizi dan mengolahnya menjadi produk bernilai tambah. “Selain itu, program ini bertujuan untuk memperkuat pendidikan keluarga dan pola asuh yang baik,” ujar Fauzan.
Berbagai skema pendanaan dan kolaborasi dengan industri dan pemerintah telah disiapkan untuk mendukung pelaksanaan program ini. Ia berharap dari NTT dapat menjadi model bagi provinsi lain di Indonesia dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan dan stunting.
• Pentingnya Pemutakhiran Data
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kementerian Sosial, Prof. Dr. Agus Zainal Arifin, S.Kom, M.Kom, menyoroti pentingnya pemutakhiran data secara kontinu untuk memastikan keakuratan informasi, terutama dalam pendataan bantuan sosial.
Sebagai contoh, Agus menjelaskan keberhasilan kurasi data sasaran Program Keluarga Harapan (PKH) yang ditujukan untuk keluarga miskin, termasuk ibu hamil, dan pentingnya pendidikan dalam mengentaskan kemiskinan.
