Senin, 22 Juli 2024, menjadi tanggal yang sangat berkesan bagi 12 orang utusan Perwakilan BKKBN Provinsi Sulawesi Tenggara. Mereka nekat berlayar ke Wakatobi di saat musim ombak dan gelombang laut Wakatobi naik.
Dari 12 anggota tim tersebut hampir semuanya “tumbang” atau mabuk, bahkan beberapa diantaranya mabuk berat. Yang semula, saat baru naik di tangga kapal, wajah mereka cerah ceria penuh gelak tawa, namun setelah kapal merangkak beberapa mil wajah mereka mulai pada redup. Tidak ada lagi yang tersenyum.
Bahkan, setelah kapal melintasi daerah Ereke (Kabupaten Buton Selatan), semuanya terbaring dengan ragam perasaan, mual, sakit kepala, hingga muntah-muntah.
Rupanya dari 12 orang itu hanya satu orang saja yang bertahan dan mampu duduk di kantin sambil mendengarkan alunan musik, yakni ketua Tim Kerja Halakiemas, Mustakim.
Ketika ditanya apa yang membuat dirinya bertahan seperti itu, jawabnya, “Ya..karena kalau baring atau tidur justru saya biasanya mabuk. Makanya saya bertahan duduk, sambil dengar musik dan bisa juga sambil nyanyi/karaoke..”.
Kapal Simba 1 yang mereka naiki perlahan namun pasti memasuki pantai dan pelabuhan Wanci di Wakatobi sekitar jam 20.00 lebih waktu setempat. Artinya, mereka menikmati gelombang dan ombak laut Wakatobi selama 10 jam lebih.
Sebenarnya, tahun 2023 ke belakang biasanya mereka ke Wakatobi naik pesawat karena masih ada penerbangan. Namun sejak tahun 2024 ini tidak ada lagi penerbangan dari Kendari ke Wakatobi atau sebaliknya. Informasi yang didapat, pemda tidak mampu lagi memberi subsidi ke maskapai penerbangan pada rute tersebut. Apa boleh buat,
“Kembali ke massa silam!” kata salah seorang anggota tim.
Meski kembali ke masa silam, harus diakui kapal-kapal yang ke Wakatobi-Kendari (PP) saat ini tergolong lebih bagus dari kapal-kapal masa silam. Kapal sekarang sudah termasuk jenis “kapal besi”, sementara kapal dulu adalah “kapal kayu”.
Ukuran kapal sekarang juga lebih luas. Setiap penumpang punya jatah bed tempat tidur. Bahkan bagi yang mau nambah sedikit ongkos juga disediakan kamar-kamar ber-AC. Namun, dari 12 anggota Tim BKKBN Sultra tersebut tidak ada satupun yang mengambil kamar. Semua punya pikiran yang sama “kalau musim ombak di kamar atau di dek sama saja. Goyang!”
Serangkaian perjalanan mereka, begitu sampai di daratan Wangi-Wangi (Ibu Kota Wakatobi), tepatnya di rumah salahsatu Penyuluh KB senior, Ibu Asni, yang juga turut pulang ke Wangi-wangi setelah mengikuti kegiatan di Kota Kendari, kepenatan dan kepusingan sedikit terobati setelah bertemu Technical Assistant (TA) Wakatobi, Najma.
Najma mengabarkan hasil Elektronik Pencatatan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM) Wakatobi di mana angka stuntingnya hanya 16 persen (versi Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana-PPKB Wakatobi malah 10 persen).
“Alhamdulillah, meski ombak laut Wakatobi naik dan tinggi, yang penting angka stuntingnya turun dan rendah!” celetuk salahseorang anggota tim sambil menggerak-gerakan lehernya karena masih terasa pusing.
Namun, semua rasa mual, pusing, jenuh, penat, cape, dll benar-benar sirna setelah rombongan tersebut selesai santap malam yang disediakan Ibu Asni. Ada menu ikan dan sate ikan bakar, sayur bening daun kelor panas, dengan beberapa jenis sambal, terutama sambal “dabu-dabu”, plus bagi laki-laki ditambah kopi pahit. Masya Allah.*