Setelah sukses mengarusutamakan program keluarga berencana selama beberapa dekade terakhir, Pemerintah kini bergerak lebih jauh. Dalam upaya mengelola pertumbuhan penduduk secara lebih strategis, pendekatan “keluarga berencana” kini ditransformasikan menjadi “komunitas berencana”. Ini merupakan suatu bentuk perencanaan kependudukan yang lebih kolektif, presisi, dan responsif terhadap tantangan zaman.
Hal ini disampaikan Sekretaris Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Sekretaris Utama BKKBN, Prof. Budi Setiyono, S.Sos, M.Pol.Admin, Ph.D, usai mengisi Kuliah Umum Kependudukan di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, di Purwokerto, Jawa Tengah, Jum’at (13/06/2025).
“Isu tentang family planning atau keluarga berencana di Indonesia sudah diakui dunia tentang keberhasilannya. Indonesia sudah mencapai tahap maturity dalam isu tersebut,” ujar Prof. Budi. Menurutnya, maturity ini ditandai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pengaturan jumlah kelahiran.
“Sekarang tantangannya adalah isu beyond family planning. Istilah KB yang dulunya Keluarga Berencana itu akan kita transformasikan menjadi Komunitas Berencana. Kita harus mampu membangun kesadaran kolektif bahwa pengelolaan masyarakat itu harus ada perencanaan yang presisi dan detail terhadap kebutuhan pertambahan dan pertumbuhan penduduk,” jelas Prof. Budi.
Ia menegaskan bahwa jika sebelumnya fokus program adalah pada jumlah dan jarak kelahiran anak dalam keluarga, maka kini pemerintah mengajak masyarakat berpikir lebih luas. Yaitu berapa banyak penduduk yang akan lahir, apa kebutuhan mereka, dan bagaimana negara khususnya pemerintah daerah untuk menyiapkan layanan dasar yang cukup untuk mereka.
“Kalau setiap tahun ada 4–5 juta bayi lahir, maka yang harus ditanya bukan cuma ‘berapa populasinya’, tapi juga ‘berapa banyak sekolah yang dibutuhkan? Berapa dokter, pasar, lapangan kerja, dan bahkan investasi yang harus disiapkan agar mereka tidak hidup di bawah garis kesejahteraan?” tambahnya.

• Menghindari Krisis dari Ketidaksiapan Perencanaan
Menurut Prof. Budi, transformasi dari KB ke komunitas berencana tak sekadar perubahan istilah, tetapi pergeseran paradigma. Pemerintah pusat dan daerah harus menyusun rencana pembangunan berbasis data kependudukan agar tak terjadi ketimpangan antara jumlah penduduk dan ketersediaan fasilitas publik, lapangan kerja, serta peluang aktualisasi diri.
“Kita tidak boleh membiarkan ada warga yang lahir tanpa harapan. Kalau tidak direncanakan dari sekarang, lahirnya generasi baru bisa jadi awal dari stunting baru, pengangguran baru, bahkan frustrasi sosial,” tegasnya.
Untuk itu, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN terus mengintensifkan sosialisasi kepada pemerintah daerah, akademisi, hingga jurnalis agar visi pembangunan berbasis penduduk menjadi gerakan bersama, bukan hanya jargon pusat.

• Kunci Bonus Demografi: Sinergi Kebijakan Antar-Sektor
Indonesia kini berada di puncak bonus demografi, yakni ketika mayoritas penduduk berada dalam usia produktif. Namun, kata Prof. Budi, hal ini tidak otomatis membawa kemajuan jika tidak diikuti dengan kesiapan sistem, terutama pendidikan dan ketenagakerjaan yang selaras.
“Banyak kementerian sudah punya program yang bagus. Tapi masalahnya adalah sinergi. Kadang lulusan kita siap kerja, tapi lapangan kerjanya tidak ada. Ini yang menimbulkan ‘mismatch’ dan menghambat produktivitas,” jelasnya.
Sebagai solusi, Prof. Budi mengatakan bahwa Kemendukbangga/BKKBN tengah mendorong proses konvergensi lintas sektor melalui kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri, Bappenas dan kementerian terkait, untuk merajut kebijakan menjadi satu kerangka pembangunan nasional yang utuh.
“Kalau kita ingin panen bonus demografi dan benar-benar mencapai Indonesia Emas, maka Grand Design Pembangunan Kependuduk ini harus menyatu. Tidak boleh ada kebijakan yang jalan sendiri-sendiri,” tutup Budi.
