Desa Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik, Kabupaten Lombok Timur, NTB, menjadi pusat perhatian pelaksanaan Gawe Gubuk, layanan terintegrasi yang menjadi bagian dari Program BERANI II (Better Reproductive Health and Rights for All in Indonesia)—sebuah kolaborasi Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, LPA NTB, UNICEF, dan Pemerintah Kanada untuk menekan angka perkawinan usia anak dan kekerasan terhadap anak di NTB.
Program ini menitikberatkan pada pendekatan komunitas, edukasi kesehatan reproduksi, dan pemenuhan hak-hak remaja, terutama remaja perempuan. “Pola pendekatan berbasis komunitas juga kami perkuat. Salah satunya melalui Gawe Gubuk yang langsung menyasar masyarakat di tingkat desa,” jelas Perwakilan UNICEF, Zubedy Koteng.
Kegiatan yang berlangsung Selasa (20/05/2025) di desa wisata ini melibatkan lintas sektor: OPD layanan terkait di tingkat Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Timur, tokoh masyarakat, NGO, dunia usaha, serta kehadiran TP PKK Provinsi NTB, UNICEF, dan lembaga pusat seperti Perwakilan Kemendukbangga/BKKBN NTB. Sekitar 205 anak dan remaja rentan serta 70 orang tua menerima layanan sosial terintegrasi—mulai dari bantuan sosial, layanan Adminduk, kursi roda, edukasi pengasuhan pencegahan perkawinana usia anak, pencegahan stunting, hingga kecakapan hidup remaja.
Tak hanya itu, kegiatan ini juga menjadi panggung deklarasi 21 Pondok Pesantren Ramah Anak (PRA) dan penetapan 5 Desa Ramah Anak di Lombok Timur, yaitu Lendang Nangka, Lendang Nangka Utara, Jurit, Aik Dewa, dan Paok Motong. Edukasi digital juga diberikan melalui kerja sama dengan Telkomsel kepada 50 remaja dalam program “Internet Baik”.

• Peran Ayah: Pilar Pencegahan Kekerasan dan Perkawinan Anak
Dalam sambutannya, Ketua TP PKK NTB, Sinta Agathia Iqbal, menegaskan pentingnya kehadiran ayah dalam pengasuhan anak. “Perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama. Namun kita perlu menegaskan kembali bahwa peran ayah dalam pengasuhan sangatlah krusial,” tegasnya.
Menurutnya, keterlibatan ayah dalam pengasuhan memberikan dampak signifikan:
• Anak tumbuh dengan rasa aman dan percaya diri
• Memiliki kontrol emosi yang lebih baik
• Lebih kecil kemungkinannya mengalami atau melakukan kekerasan
• Mampu membangun ketahanan diri terhadap tekanan sosial dan risiko perkawinan usia anak
“Ketika ayah tidak bisa hadir karena harus bekerja di luar daerah atau luar negeri, maka peran itu bisa dilanjutkan oleh kakek, paman, atau sosok laki-laki dewasa lainnya dalam keluarga,” imbuhnya.
Ia juga mengapresiasi langkah Desa Lendang Nangka sebagai desa yang berhasil membangun kesadaran kolektif dan komitmen bersama dalam membentengi generasi mudanya. “Pernikahan anak itu bukan hanya karena faktor ekonomi, tapi juga pola asuh dan budaya. Roda terus berputar—anak menikah muda, belum siap, miskin, lalu menurunkan masalah ke generasi berikutnya,” jelasnya.

• Kemendukbangga/BKKBN Dukung GATI
Sebagai bagian dari pemerintah pusat, Perwakilan Kemendukbangga/BKKBN NTB turut hadir dan menyuarakan pentingnya penguatan peran keluarga dalam Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP), termasuk melalui pengarusutamaan Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI).
“Ketika anak tidak dinikahkan pada usia anak, maka kita menghindarkan mereka dari risiko kematian ibu dan bayi, perceraian dini, serta kemiskinan antar-generasi. Peran ayah dalam pengasuhan adalah intervensi kunci dalam membentuk ketahanan keluarga,” tegas Mia Oktora, Humas Kemendukbangga/BKKBN NTB.
• Gawe Gubuk: Kolaborasi Nyata Perlindungan Anak
Kepala Desa Lendang Nangka menyampaikan bahwa dari 11.817 jiwa penduduk desanya, 29,56% adalah anak-anak. Ia menegaskan bahwa desa harus menjadi titik awal perubahan besar. “Kami sadar, jika ingin melihat masa depan bangsa, lihatlah bagaimana anak-anak dan perempuan diperlakukan hari ini. Maka, komitmen desa kami adalah mencegah perkawinan usia anak melalui sosialisasi, pendampingan, dan kolaborasi,” ujarnya.
Data UNICEF menunjukkan bahwa 70% perkawinan usia anak di NTB tidak tercatat resmi di KUA, sehingga anak kehilangan akses perlindungan hukum dan layanan sosial. Akibatnya, banyak yang mengalami perceraian dini, masuk ke dalam lingkaran kemiskinan, dan berisiko memiliki anak dengan kondisi stunting atau malnutrisi.
Dengan pendekatan multisektor, berbasis komunitas, serta penguatan peran ayah dalam keluarga, Pemerintah NTB optimistis bahwa angka perkawinan usia anak dapat ditekan secara signifikan. “Kami butuh peran semua pihak. Ini bukan hanya soal aturan, tapi juga soal budaya, pendidikan, dan pola asuh, bahwa kita menitipkan pola pengasuhan juga di tangan ayah. Dengan ayah yang turun langsung dalam pengasuhan, ia akan mengajarkan bahwa menjadi seorang ayah harus siap—siap secara fisik maupun psikis” tegas Sinta Agathia Iqbal.
Gawe Gubuk hari ini bukan sekadar kegiatan layanan, tetapi menjadi momentum besar untuk menghadirkan kembali sosok ayah sebagai pelindung, pendamping, dan teladan utama bagi masa depan anak-anak NTB.
